Per hari ini sudah dua bulan ini saya menjadi penumpang harian Commuterline. Ya, sekarang namanya Commuterline, dulunya lebih dikenal dengan KRL Jabodetabek. Informasi mengenai Commuterline bisa dibaca lengkap di situs resmi mereka di www.krl.co.id. Sedangkan rute bisa dilihat di sini.
Sebenarnya saya bukannya pertama kali naik Commuterline, ketika era KRL saya pun beberapa kali menggunakan layanan ini. Tapi memang harus diakui era Commuterline ini jauh jauh lebih baik dari era KRL dulu. Sudah mulai terasa seperti menaiki kereta komuter di luar negeri. Jangan protes dulu … kan saya bilang sudah mulai, tapi belum sama pengalamannya ๐
Stasiunย
Saya ingat betul beberapa tahun lalu ketika kegiatan renovasi stasiun dimulai beserta “relokasi” pedagang-pedagang yang ada di stasiun mengundang kritik, protes bahkan demo oleh mahasiswa. Pedagang ditertibkan. Baik asongan maupun yang sudah punya lapak di dalam atau di luar stasiun. Belum lagi penertiban lapak, warung remang-remang, rumah kumuh yang berada di pinggir/sepanjang jalur rel KA. Seingat saya dulu orang bisa masuk dan keluar stasiun tanpa harus lewat pintu utama karena tidak ada pagar pembatas.
Kini secara fisik, stasiun-stasiun jauh lebih baik. Relatif rapi dan bersih. Tersedia eskalator di beberapa stasiun, restoran franchise, ATM, toilet yang bersih dan tidak ketinggalan musholla. Jalur menuju dan keluar stasiun pun lebih rapi dan relatif teratur. ย Tak ada pedagang asongan di dalam stasiun. Tersedia tempat parkir untuk motor dan mobil. Sepanjang jalur Commuterline pun saya tidak lagi melihat lapak atau gubug liar seperti beberapa tahun lalu.
Papan penunjuk dan informasi salam stasiun sudah cukup jelas sehingga calon penumpang bisa tahu harus menunggu di peron mana dan kereta apa yang akan datang.
Stasiun besar seperti Manggarai kini telah memiliki terowongan sehingga penumpang tidak perlu menyeberang rel untuk menuju peron tujuannya. Mirip yang diluar negeri lah! Pengamatan saya, stasiun Duri pun sedang membangun terowongan bawah tanah seperti Manggarai.
Kereta
Kondisi fisik jauh lebih baik. Tempat duduk, AC yang memadai dan relatif bersih. Ada larangan bagi penumpang untuk makan dan minum di dalam kereta. Mungkin maksudnya supaya agar tidak “nyampah” di dalam kereta. Dan saya perhatikan setiap mendekati stasiun akhir, petugas kebersihan langsung bekerja untuk memastikan kereta siap dipakai dalam keadaan bersih lagi.
Tiketing
Ini bagian yang paling saya suka. Saya bisa mempergunakan kartu non tunai dari bank sehingga saya tidak perlu antri beli kartu berjaminan sebagai tiketnya. Terus terang ini amat membantu karena saya tidak perlu lagi antri di loket stasiun. Kartu ini juga bisa dipakai untuk naik Transjakarta. One card for all, so I like it!
Nah, itu bagian baiknya. Sekarang kita lihat beberapa hal yang menurut saya masih jauh dari standar layanan untuk penumpang.
Infrastruktur Stasiun masih perlu ditingkatkan
Harus diakui, Commuterline ini adalah transportasi massal yang murah meriah. Dari stasiun Rawabuntu di Serpong ke stasiun Cawang hanya Rp 4000. Itu murah banget lho! Jadi jangan heran kalau moda transportasi ini jadi andalan banyak orang. Akibatnya ya setiap jam sibuk tidak bisa dihindari kereta akan penuh sesak. Tapi di luar negeri pun begitu kan ya? Bahkan saya pernah lihat di Jepang sampai ada petugas yang membantu mendorong penumpang yang ada di pintu kereta agar bisa masuk. Jadi untuk ini masih acceptable lah.
Masalahnya justru ada di stasiunnya. Stasiun tidak cukup besar dan layak untuk menampung penumpang sebanyak itu. Jalur masuk dan keluar tidak dibedakan, dan bahkan terlalu kecil/sempit sehingga berdesak-desakan dan kurang manusiawi. Contoh di stasiun Tanah Abang dimana penumpang yang akan pindah peron mesti naik eskalator atau tangga yang cuma satu. Akibatnya penumpang harus berebut dan berdesakan naik tangga/eskalator.
Hal lain adalah akses menuju lokasi beberapa stasiun yang kurang strategis. Stasiun seperti Tigaraksa, Daru dan Cilejit tidak berada langsung di pinggir jalan raya sehingga akses transportasi penunjang juga masih kurang. Pilihannya adalah ojek motor atau angkot yang beroperasi di jam-jam terbatas.
Edukasi Penumpang
Penumpang Indonesia memang unik. Tidak sabar dan takut tidak kebagian sehingga cenderung berebutan. Mungkin karena secara alam bawah sadar trepanam bahwa kita berada di lingkungan kompetitif sehingga sejak kecil sudah dilatih dan dididik untuk selalu berebut ๐ Ini terbawa juga ketika naik dan turun kereta. Meski ada pengumuman untuk mengutamakan penumpang yang turun tapi tetap saja penumpang yang akan naik pada berebutan naik. Takut ngga dapat tempat duduk ๐
Pemandangan tipikal di atas kereta adalah hampir semua melihat gawai masing-masing. Ada yang baca berita, nonton film dan ada yang saling ber-instant messaging. Satu hal yang saya ingatkan bahwa di dunia IT security ada istilah yang disebut “shoulder sniffing” yaitu dimana orang di sebelah bisa membaca dengan jelas apa yang ada di layar. Dalam suasana kereta yang amat padat dimana kepala saling dekat satu sama lain, maka tak bisa dihindari “insiden” ikut membaca instant messaging milik orang lain. Agak susah menahan godaan untuk tidak membaca. Lha wong di depan mata ๐
Secara kesimpulan, bila dibandingkan dengan moda transportasi lain seperti bus maka Commuterline lebih murah dan bisa diprediksi waktu tempuh perjalanannya. Minusnya, apabila kebetulan penuh maka harus siap untuk berdiri sepanjang perjalanan. Tapi jangan kuatir, Anda bisa tetap menikmati perjalanan. Misalnya mencoba mengamati perilaku penumpang, “shoulder sniffing” atau mencoba menerjemahkan nama stasiun ke dalam bahasa Inggris ๐
Kalideres … Strong River?
Batuceper … Flat Stone?
Rawa Buntu … Dead-end Swamp?
Tanah Tinggi … Highland?
๐
related post: mencoba commuter line, selalu ada pertama kali